Proses Legislasi UU TNI Telah Libatkan Akademisi dan Masyarakat Sipil
Oleh : Aristika Utami
Proses legislasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang
Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mencerminkan pentingnya keterbukaan dalam
pembentukan kebijakan strategis negara. Proses ini tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang, melainkan juga
melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari kalangan akademisi, pakar
pertahanan, serta organisasi masyarakat sipil. Hal ini bertujuan agar regulasi
yang dihasilkan memiliki legitimasi publik dan mencerminkan kebutuhan riil pertahanan
negara di tengah perubahan zaman, tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip
demokrasi dan supremasi sipil.
Komisi I DPR RI sebagai pihak yang membahas UU ini secara
aktif menggelar forum dengar pendapat dengan menghadirkan berbagai elemen
masyarakat. Para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi ternama turut
dilibatkan untuk memberikan pandangan berbasis kajian ilmiah. Dalam
diskusi-diskusi tersebut, para akademisi menekankan pentingnya pembahasan yang
komprehensif dan partisipatif. Mereka menilai bahwa pembentukan undang-undang
yang mengatur militer tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa, karena berpotensi
mengganggu keseimbangan antara otoritas sipil dan militer dalam sistem
demokrasi.
Ketua LSM FKSPKT
Kabupaten Tabalon, Ahmad Rusmadi
S.AP mengatakan pihaknya mendukung penuh
pengesahan UU TNI dan percaya, undang-undang ini akan memperjelas fungsi dan
kedudukan TNI, memungkinkan mereka berkolaborasi secara solid dengan berbagai
komponen bangsa.
Dalam proses pengesahan, sidang-sidang Komisi I DPR
dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau publik melalui siaran langsung
maupun pemberitaan media massa. Ini merupakan bentuk akuntabilitas yang harus
diapresiasi, mengingat isu militer kerap dianggap sensitif dan tertutup.
Transparansi ini juga memperkuat legitimasi publik terhadap hasil akhir dari
proses legislasi tersebut. DPR sebagai lembaga legislatif juga telah memastikan
bahwa seluruh tahapan berjalan sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan,
mulai dari penyusunan naskah akademik, pembahasan substansi, hingga harmonisasi
regulasi bersama Kementerian Hukum dan HAM.
Dari pihak legislatif, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto,
menegaskan bahwa seluruh proses legislasi UU TNI telah mengikuti mekanisme yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ia menyatakan bahwa DPR telah
melibatkan banyak pihak dalam pembahasan, termasuk akademisi, masyarakat sipil,
dan instansi pemerintah terkait. Menurutnya, semua masukan telah dihimpun dan
dipertimbangkan secara cermat dalam proses penyusunan. Ia juga menilai bahwa
substansi UU ini masih tetap berada dalam koridor supremasi sipil dan
konstitusi, serta menjadi langkah penting untuk memperbarui sistem pertahanan
nasional yang adaptif terhadap ancaman masa kini.
Di tengah proses ini, koalisi masyarakat sipil juga
menunjukkan peran aktif mereka dengan menyuarakan keberatan terhadap beberapa
pasal dalam UU TNI yang dinilai rawan disalahgunakan. Mereka menganggap bahwa
perluasan peran TNI dalam operasi militer selain perang, serta kemungkinan
prajurit aktif menduduki jabatan sipil, dapat menimbulkan ambiguitas dalam tata
kelola pemerintahan sipil. Meskipun demikian, mereka tetap menekankan
pentingnya pembahasan yang terbuka dan bersedia terlibat dalam dialog kebijakan
untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi.
Proses panjang pembentukan UU TNI ini juga menjadi refleksi
dari kematangan demokrasi Indonesia dalam mengelola isu-isu sensitif. Tidak ada
proses legislasi yang sempurna dan tanpa kritik. Namun, keterbukaan terhadap
masukan, transparansi pembahasan, serta keterlibatan luas dari berbagai elemen
bangsa, menjadi fondasi utama yang memperkuat kualitas dan legitimasi
undang-undang tersebut. UU TNI bukan hanya menjadi produk hukum semata,
melainkan juga simbol komitmen Indonesia dalam memperkuat sektor pertahanan
secara demokratis, profesional, dan akuntabel.
Sementara itu, pemerintah dan DPR tetap menegaskan bahwa
revisi UU TNI ini dilakukan dalam semangat reformasi sektor pertahanan. Mereka
menyampaikan bahwa tantangan baru seperti ancaman siber, bencana alam, dan
konflik non-konvensional membutuhkan kerangka hukum yang lebih responsif.
Pemerintah juga menyatakan bahwa pelibatan TNI dalam urusan sipil tetap akan
diatur secara ketat dan harus berada di bawah kendali politik negara.
Dukungan terhadap UU ini juga datang dari beberapa
organisasi kemasyarakatan di daerah. Mereka menilai bahwa kehadiran
undang-undang baru ini akan memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan
nasional dan mendukung ketertiban di wilayah-wilayah perbatasan serta daerah
rawan konflik. Dalam beberapa pernyataan publik, kelompok-kelompok ini menyebut
bahwa UU TNI memberikan kepastian hukum bagi TNI dalam menjalankan tugasnya
secara profesional dan konstitusional.
Dengan melibatkan berbagai perspektif dan suara dari elemen
bangsa, proses legislasi UU TNI telah menjadi salah satu contoh dinamika
demokrasi yang berjalan aktif. Perbedaan pandangan antara kalangan sipil,
akademisi, dan pembuat undang-undang menjadi bagian penting dari proses
pembentukan hukum yang sehat. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa
partisipasi publik tidak berhenti setelah undang-undang disahkan. Pengawasan
terhadap implementasi UU dan evaluasi berkala tetap menjadi tanggung jawab
bersama demi menjaga profesionalisme militer dalam bingkai demokrasi.
Ke depan, UU TNI yang baru diharapkan tidak hanya memperkuat
postur pertahanan negara, tetapi juga mempertegas komitmen Indonesia dalam
menempatkan militer di bawah kontrol sipil, sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi. Keseimbangan antara kebutuhan keamanan nasional dan perlindungan
terhadap hak-hak sipil akan terus menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia.
Dengan melibatkan semua unsur bangsa dalam proses legislasi ini, harapannya TNI
akan semakin profesional, adaptif, dan tetap teguh dalam menjalankan perannya
sebagai alat negara yang tunduk kepada hukum, bukan kekuasaan.
)* Pengamat Kebijakan Publik
Bagian Atas Formulir
Bagian
Bawah Formulir