Mendukung Implementasi Hukum Positif Demi Kemajuan Papua
Oleh: Markus Ribka Ohei *)
Setiap negara di dunia memiliki sistem hukum untuk mengatur warga negaranya. Tata hukum setiap negara mempunyai perbedaannya masing-masing. Hukum negara yang diterapkan tersebut dapat disebut sebagai hukum nasional bangsa. Hukum nasional terbentuk berdasarkan ciri khas kebudayaan bangsanya masing-masing karena hukum nasional sejatinya merupakan hasil dari nilai-nilai yang tumbuh sebagai cerminan budaya bangsa.
Di Indonesia, hukum adat merupakan hukum yang mencerminkan budaya bangsa karena tumbuh dari kebiasaan masyarakat dari waktu ke waktu. Meskipun seluruhnya berada dalam kesatuan Republik Indonesia, namun terdapat perbedaan adat yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keseluruhan adat tersebut dapat bersatu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Sehubungan dengan hal tersebut, hukum adat sebagai living law di Indonesia sejalan dengan aliran yang dipopulerkan oleh Eugen Ehrlich. Pendapatnya tersebut dipopulerkan sebagai istilah aliran Sociological Jurisprudence. Aliran ini menitikberatkan kepada living law yang merupakan hukum yang berkembang dan hidup di masyarakat. Menurutnya, hukum positif dapat berjalan secara baik dan efektif apabila pembentukannya berdasarkan living law yang ada pada masyarakat tersebut.
Berbicara hukum adat, Papua menjadi salah satu wilayah yang sangat kental dalam implementasi hukum adat di wilayahnya. Pemerintah pun memberi pengakuan dan penguatan masyarakat hukum adat Papua dalam kerangka otonomi khusus. Perlu diketahui bahwa masyarakat hukum adat Papua adalah salah satu dari 19 lingkungan hukum adat yang ada di Indonesia.
Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua berupaya mengakui, mengakomodasi, dan menghargai eksistensi masyarakat hukum adat di Papua. Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 UU Otsus yang berisi berbagai definisi terkait adat, seperti masyarakat adat, hukum adat, masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan orang asli Papua.
Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam UU Otsus diwujudkan melalui beberapa cara. Pertama, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua. Kedua, adanya anggota DPRD dari jalur pengangkatan yang dipilih berdasarkan wilayah adat. Ketiga, pemanfaatan sumber daya alam yang menghormati hak-hak masyarakat adat. Keempat, pembangunan yang memberikan kesempatan luas kepada masyarakat adat. Kelima, pengakuan terhadap hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat adat, serta pengakuan terhadap peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Namun demikian, ada kalanya hukum adat Papua sulit menyelesaikan sejumlah konflik. Sehingga hukum positif yang berlaku secara nasional harus tetap hadir dalam mengatur kehidupan masyarakat Papua, khususnya kehidupan sosial. Bahkan, sejumlah tokoh Papua meminta agar hukum positif dinormalisasikan di wilayah Papua dalam rangka menyelesaikan konflik agar tidak berlarut dan berulang. Seperti halnya konflik antar warga yang pernah terjadi di Timika, Dewan Adat Papua mendesak agar diselesaikan melalui hukum positif, bukan hukum adat.
Anggota Dewan Adat Papua, George Weyasu menegaskan bahwa penyelesaian secara adat tidak efektif menghentikan masalah karena konflik terus berulang selama empat tahun terakhir. George menyebutkan bahwa jumlah korban sangat banyak dan hampir terjadi setiap tahun, sehingga diharapkan konflik tidak lagi terjadi dan hukum positif harus ditegakkan. Selain itu, pentingnya penindakan hukum untuk menciptakan efek jera dan mencegah kerusuhan di masa depan.
Sebelumnya, aparat gabungan TNI/Polri menerjunkan sekitar 800 personel untuk menangkap tersangka konflik Timika. Aparat gabungan mencari Waimum atau panglima perang dalam bahasa setempat, pelaku perang, dan pelaku tindak pidana. Penyisiran dilakukan selama 7 hari ke depan di empat titik dan operasi akan diperpanjang jika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan. Dewan Adat Papua berharap pendekatan hukum positif dapat memberikan solusi jangka panjang yang efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik di Timika.
Beberapa tahun silam, Klemen Tinal yang pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Provinsi Papua, 3 tahun sebelum meninggal juga menegaskan bahwa hukum positif wajib ditegakkan di Bumi Cendrawasih demi menciptakan kondisi yang aman, tenteram, dan bebas dari berbagai gangguan keamanan. Hal ini disampaikannya sebagai respons terhadap aksi penembakan puluhan pekerja proyek infrastruktur di Kabupaten Nduga, Papua, pada 2018 oleh OPM.
Sebagai pemerintah provinsi yang mewakili pemerintah pusat, Klemen Tinal menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Klemen meminta aparat keamanan dari kepolisian dan TNI segera menindak tegas, sehingga pihak-pihak yang diduga terlibat dapat diproses sesuai aturan hukum yang berlaku. Maka dari itu hukum positif harus ditegakkan di Papua, karena Indonesia adalah negara hukum.
Hukum positif adalah fondasi yang menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Melalui berbagai aturan yang ditetapkan oleh otoritas resmi, hukum positif memberikan kerangka yang jelas bagi perilaku warga negara, melindungi hak-hak individu, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Oleh karena itu, pemahaman dan penghormatan terhadap hukum positif adalah hal yang penting bagi setiap warga negara untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan. Namun, penting untuk diingat bahwa hukum positif harus sejalan dengan nilai-nilai adat yang hidup di masyarakat agar dapat diterima dan efektif. Keseimbangan antara hukum positif dan hukum adat adalah kunci untuk mencapai keadilan yang sejati dan berkelanjutan dalam masyarakat yang plural dan dinamis seperti Papua.
)* Pakar Hukum asal Papua