Oleh: Felix P. Pigai*
Internasionalisasi isu Papua oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab hanya akan sia-sia karena pada dasarnya masyarakat Papua menginginkan berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dukungan terhadap gerakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan upaya internasionalisasi isu Papua merdeka seolah menaburkan genderang perang yang menekan tindakan balasan Indonesia dalam penegakan kedaulatan. Dukungan ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia karena bagi oknum perongrong kedaulatan NKRI, Papua tidak diakui sebagai bagian dari Indonesia, bahkan ada tuduhan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran HAM dengan menjajah wilayah Papua dan ras Melanesia di Papua.
Seperti yang pernah diungkapkan Vanuatu di beberapa forum Melanesian Spearhead Group (MSG), yakni konstitusi ideologi mengakui bahwa bangsa Melanesia belum sepenuhnya merdeka selama ada ras Melanesia yang belum merdeka. Ideologi ini mempertegas sikap Vanuatu dalam mengangkat isu Papua merdeka ke agenda global.
MSG adalah organisasi antarpemerintah yang beranggotakan Fiji, Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. Di antara anggotanya, Vanuatu sering kali menjadi negara yang mengusik kedaulatan Indonesia dengan menyebarkan isu-isu miring tentang Papua. Negara kecil di Pasifik ini kerap menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap penduduk asli Papua Barat namun menutup mata terhadap gerakan separatisme di sana.
Sebagai contoh, pada tahun 2021, saat sidang ke-76 Majelis Umum PBB (UNGA), Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua Barat. Tuduhan ini langsung ditanggapi dengan tegas oleh diplomat muda Indonesia, Sindy Nur Fitri, yang mempertanyakan pemahaman Vanuatu tentang HAM dan mengkritik cara negara tersebut mencoba mengesankan dunia dengan kepeduliannya terhadap masalah HAM.
Ketegangan ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada tahun 2019, Vanuatu menyelundupkan tokoh separatis Papua Barat, Benny Wenda, ke Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, di mana dia menyerahkan petisi referendum kemerdekaan. Di masa lalu, Vanuatu juga lantang menyuarakan kemerdekaan Papua Barat di forum PBB, meski agenda sidang tak membahas masalah tersebut.
Selain Vanuatu, Kepulauan Solomon juga sering mengusik Indonesia dengan isu Papua. Pada Agustus 2023 lalu, negara ini mendesak Indonesia untuk mengizinkan Komisi HAM PBB mengunjungi Papua. Desakan ini tertuang dalam dokumen 22nd MSG Leader’s Summit Adopts Communique yang dirilis di situs pemerintah Kepulauan Solomon.
Pada KTT MSG tersebut, delegasi Indonesia turut hadir namun memilih walk out atau keluar dari forum saat pemimpin separatis Papua Barat dan Ketua ULMWP, Benny Wenda, akan menyampaikan pidato. Pertemuan puncak itu berlangsung pada 23-24 Agustus di Port Vila, Vanuatu.
Namun demikian, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Prof. Rezasyah berpandangan, Indonesia tidak perlu menghabiskan banyak energi menghadapi pengaruh Benny Wenda di luar negeri. Karena pengaruhnya bisa dinihilkan dengan melakukan pembenahan di dalam negeri. Sebab, keberhasilan Indonesia melakukan pembenahan di dalam negeri akan mengurangi amunisi dari seorang Benny Wenda.
Internasionalisasi isu Papua ini seringkali digunakan sebagai alat untuk menekan Indonesia dan mendapatkan perhatian internasional. Padahal, tindakan sepihak Vanuatu ataupun Kepulauan Solomon telah memicu reaksi keras dari Indonesia, termasuk masyarakat Papua. RI menyikapi hal ini secara tegas namun hati-hati dengan langkah-langkah strategis yang memberikan daya tangkal kuat terhadap internasionalisasi isu Papua.
Perlu disadari bahwa yang membesarkan isu-isu Papua hanyalah pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi. Sebagian besar masyarakat Papua sendiri menginginkan perdamaian dan kesejahteraan di bawah naungan NKRI. Dukungan yang diberikan oleh beberapa negara atau kelompok tertentu kepada gerakan separatis di Papua seringkali didasarkan pada kepentingan politik dan ekonomi semata, bukan pada keinginan tulus untuk membantu rakyat Papua. Indonesia sebagai negara berdaulat harus terus memperkuat langkah-langkah strategis dalam menangkal upaya internasionalisasi isu Papua dan memastikan kedaulatan NKRI tetap terjaga.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam penutupan forum sidang Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) ke-2, menyampaikan pesan yang mendalam kepada negara-negara rumpun Melanesia seperti Fiji, Solomon, Papua Nugini, serta Dirjen dari Melanesian Spearhead Group (MSG) terkait status Papua sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.
Puan mengungkapkan bahwa Indonesia telah memaparkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memajukan Papua. Beberapa diantaranya menyebut bahwa Papua saat ini telah bertambah empat provinsi, termasuk menyampaikan berbagai langkah yang telah diambil oleh Indonesia untuk kemajuan Papua.
Selain itu, pertemuan IPPP menghasilkan beberapa rekomendasi penting, seperti saling menghargai prinsip kesetaraan, penghormatan terhadap kedaulatan, dan persatuan teritorial, serta menjaga perdamaian di antara wilayah Pasifik. Juga komitmen bersama untuk menjaga lingkungan sebagai negara yang saling bertetangga dan berdekatan.
Dengan memperkuat persatuan dan kesatuan di dalam negeri, menunjukkan kewibawaan Indonesia dalam setiap forum internasional, serta menunjukkan komitmen untuk pembangunan dan kesejahteraan di Papua, Indonesia dapat membuktikan kepada dunia bahwa Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI, serta memastikan bahwa kedaulatan Indonesia diakui dan dihormati oleh komunitas internasional.
*Penulis adalah Pemuda Papua/Pengamat Isu Papua