Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
Melihat para petani perempuan dan petani difabel di Kulon Progo, Yogyakarta, yang kurang memiliki pengetahuan dan dilibatkan untuk mengatasi perubahan iklim, Lastiana Yulandari tidak tinggal diam.
Ia mendirikan sebuah lembaga bernama Aliet Green untuk memberikan pelatihan dan teknologi yang terjangkau bagi petani untuk menghadapi cuaca yang semakin tak menentu
Menurut Lastiana petani adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim, tapi mereka tidak memahami bagaimana menyikapinya
“Buat mereka, climate change itu kan sesuatu yang scientific banget,” ujarnya kepada Billy Adison dari ABC Indonesia.
“Mereka merasakan ada suatu perubahan tapi mereka enggak bisa bilang [itu disebabkan] climate change,” kata Lastiana.
“Terutama [petani] yang difabel dan perempuan, mereka merasa … ‘Kok saya enggak pernah diajarin ini sama orang tua saya kalau ada perubahan kalendar seperti ini?”
“Mereka merasa ada yang missing [soal pengetahuan], padahal sebenernya enggak.”
Lastiana mengatakan sebenarnya petani tradisional di Indonesia memiliki pengetahuan soal pertanian berkelanjutan, yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga petani.
Termasuk pengetahuan ‘regenerative organic practices’ yang diantaranya fokus pada kesehatan tanah dan kesejahteraan petani.
Tapi ia mengatakan banyak pengetahuan tradisional ini hilang antara generasi, sehingga mereka kurang paham dampak perubahan iklim pada hasil pertanian.
Setidaknya sudah ada 1.500 petani kecil yang mendapat pelatihan dan diberdayakan oleh Aliet Green, hingga mengantarkan lembaga ini mendapat penghargaan Local Adaptation Champions Awards, yang diberikan di acara Conference of the Parties (COP29) di kota Baku, Azerbaijan, awal pekan kemarin.
Jadi ini bukan hanya semacam personal milestone … tapi juga sebenarnya dedikasi yang kita lakukan kepada petani kecil yang sebenarnya mereka itu yang lebih mengalami greatest challenge.”
Penghargaan diberikan kepada sejumlah organisasi dan lembaga yang dianggap bisa menjadi contoh untuk mengatasi perubahan iklim.
Aliet Green memenangkan kategori Local Entrepreneurship.
“Penghargaan ini merupakan kesempatan untuk merayakan langkah-langkah adaptasi lokal yang terbaik dan tercerdas di seluruh dunia yang menangani dampak perubahan iklim secara langsung,” ujar Profesor Patrick Verkooijen, CEO dari lembaga Global Center on Adaptation yang memberikan penghargaan.
Alasan fokus membantu perempuan dan difabel
Pertanian di Indonesia, menurut Lastiana sudah sejak lama “tidak adil”, hanya memprioritaskan petani pria, selaku kepala keluarga atau yang punya lahan, padahal banyak pekerjaan justru dilakukan oleh para perempuan
Mereka [petani perempuan] yang maintain farm-nya, dia yang mengolah produknya, tapi uangnya selalu dipegang oleh suaminya, atau dipegang sama yang punya lahan,” jelasnya.
Dari urusan rumah tangga hingga aktivitas pertanian, petani perempuan seringkali sulit mencari waktu dan mendapat bantuan untuk mengembangkan keterampilan mereka.
Sementara petani difabel memiliki potensi untuk dilibatkan dalam industri pertanian, menurut Lastiana, tapi sering diabaikan karena kemampuannya diragukan.
“Bagaimana yang difabel ini mau naik kelas kalau dia sendiri tidak pernah diberi kesempatan?” ujarnya.
Lastiana mengatakan dengan mengedepankan pertanian yang lebih berkelanjutan serta mensejahterakan petani, mereka bisa mendapat sertifikat ‘Fairtrade’ untuk hasil panennya, termasuk gula kelapa.
Mereka membudidayakan tanaman pangan dengan nilai tinggi sebagai sumber pendapatan tambahan, atau jika produk utama mereka mengalami gagal panen.
“Pembeli ini juga kita ajak untuk bisa berkontribusi ke komunitas,” jelas Lastiana.
“Jadi enggak cuman membeli terus selesai hubungannya dan mereka juga berkontribusi kepada komunitas.”